Pages

Monday, October 28, 2013

Cerita Lepas Alumni AL di Malam Kamis

Topilus Bastian Tebay. Foto; Dok Pribadi
Oleh Topilus B. Tebai *)


MALAM KAMIS (8/7/2013), asrama mahasiswa kabupaten Dogiyai  diselimuti gelap malam. Penghayatan akan hari Fitri  semakin menjadikan malam ini tenang. Saya duduk di atas  sebuah batu. Beberapa sahabatku juga duduk. Kami duduk melingkar, melingkari sebuah termos berisi kopi susu yang kami buat, sebagai teman cerita kami malam ini. 

Bicara kami tidak serius. Berawal dari (Mestinya kaka Agus. Saya tulis Agus, agar tidak ada kelas terlihat dalam coretan ini) Agus yang menceritakan  bagaimana Asrama Putera ketika zamannya, dan bagaimana wajah SMA YPPK Adhi Luhur, percakapan meluas.

 “Kami waktu itu, pas POSAL, kami satu bulan. Kami benar-benar dididik,” begitu kata Agus mengawali. Saya duduk diam, menyimak. Agus bercerita panjang dan lebar seputar penyelenggaraan POSAL, dan bagaimana prosesnya sampai dia menjadi panitia POSAL pada tahun berikutnya.

Kemudian, cerita berlanjut pada kesan Agus kepada pak Jhon. Lengkapnya, yang saya dengar dari mulut Agus, Jhon Kurniawan Angkasa. 

“Pak Jhon cinta kami anak Papua. Dia didik kami dengan hati. Satu juga itu, pak Leo Lantang. Dia benar-benar ayah kami sebelum pak Yermias Degei datang, pak Longginus Pekey datang, pak Melkias Tekege datang.” 

Cerita kemudian berlanjut pada kesan-kesan pribadi Agus ketika berproses di Adhi Luhur dengan mereka. 

Ketika Mikael bicara, cerita berpindah kepada Pak Lamba Toding, caranya mengajar, dan disiplinnya dalam mengajar. Kemudian  kepada pastor Mardi Santosa, ayah dari anak pedalaman di Nabire. Saya ingat apa kata pater Mardi dari lapangan basket, ketika uparaca bendera Indonesia.

“Untuk anak asli Papua, jangan jadikan  biaya sebagai alasan anda untuk tidak mendapat layanan pendidikan yang baik di Adhi Luhur. Kalau memang anda tidak punya famili yang membiayai anda, tapi anda punya semangat belajar, saya akan bebaskan anda dari biaya-biaya di Adhi Luhur. Asal kau belajar serius.”

Kata-katanya itu bukan hanya di bibir. Saya ingat bagaimana beberapa teman saya, Daniel Wakey, Gergorius Iyai, dan Sabina Dogomo,  melalui sentuhannya,  bahkan sampai bisa masuk ke Surya Research Internasional. Pastor Mardi juga selalu memberi beberapa buku rangkuman materi kepada beberapa anak yang dianggap berpotensi, juga kepada mereka yang punya semangat. Hery Tebay,   Kris Tebay, Saya, Daniel Wakey, Agustian Tatogo (belajar Matematika, sekarang kuliah jurusan Matematika, dan tutor Matematika buat teman-teman dan adik adik Papuanya), kami adalah beberapa diantaranya yang  pernah mendapat buku. Gratis!.

Justru dari sini, cerita kami berkembang, dengan membandingkan apa yang terjadi saat ini. Frans, Mikael, Moses, juga Paul, mereka cerita banyak tentang perkembangan AL terkini.

Dari cerita mereka, saya memahami beberapa hal. Dengan cerita mereka bagaimana Rekoleksi 2 Angkatan yang dahulu sampai 2 malam di sekolah,  untuk tahun ini bahkan hanya satu hari. Dari satu hari itu, hanya satu jam materi, kemudian masuk jam bebas, main Basket, Volly, Futsal, sampai sore dan pulang. 

Kemudian, bagaimana anak-anak asli Papua mulai merasa asing, merasa tidak diperhatikan lagi, karena guru-guru saat ini mungkin kurang menjiwai semangat sebagai seorang Guru, sekaligus Bapa, sama seperti pak Jhon Kurniawan Angkasa, pak Leo Lantang, dalam cerita Agus.  Dari cerita mereka, raut wajah mereka, jelas ada kerutan kekecewaan di dahi.

Kemudian cerita berlanjut pada bagaimana  anak-anak ini mendengar dari beberapa teman mereka, bagaimana  mereka sering jadi bahan bicara dan tertawaan  di meja makan, justru dari Pembina, dan Pemimpin sekolah dan asrama, yang menjadi panutan  mereka. Disana, warna kecewa jelas-jelas saya tangkap.

“Kaka, yang dulu ada kelas sore khusus untuk anak asli Papua dan yang lain, khusus bagi mereka yang kurang mampu dalam memahami 3 mata pelajaran utama; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika, sekarang  ditiadakan. Tidak pernah diadakan,” kata Frans. 

“Juga, tidak seperti Pastor Mardi, atau Kristian Laheba, atau Jhon Kurniawan, atau Leo Lantang, bagi yang tidak mengerti, mereka tidak membuka ruang untuk siswa pergi bertanya di Wisma, Pastoran, dan rumah mereka,” katanya lagi. 

Saya kemudian bertanya, bagaimana dengan kabar guru-guru di sana. Saya bermaksud ingin mencairkan suasana pembicaraan kami yang menjurus serius.

“Beberapa guru baru masuk. Tapi mereka tidak seperti guru lama.” Kemudian Mikael tambah lagi bicara,” Biaya masuk Adhi Luhur juga semakin mahal.”

Mengenai biaya sekolah di SMA Adhi Luhur, kata mereka, sekarang, minimal bayar 200.000,00. Kemudian, bagaimana dengan yang orang tuanya petani, dan memunyai anak 6, semua sekolah? Haruskan mereka hanya dibiarkan bermimpi belajar di kampus AL?  Ketika mereka menyinggung pastor Mardi, saya ingat kata katanya, “Tidak ada uang untuk biaya sekolah tidak menjadi alasan bagi anak asli Papua sekolah di Adhi Luhur.” Pastor Mardi, dia sekarang tidak lagi di Adhi Luhur. Anak asli Papua rindu dia. Itu jelas dari cara mereka bicara.

Kopi susu masih tersedia lebih dari 5 liter, sementara jarum jam masih menunjuk angka 12.00. Malam itu, hanya bintang bertaburan. Asrama hening. Kami masih lanjut bicara. Semua alumni SMA Adhi Luhur.

Agus kemudian bicara. “Adhi Luhur hadir untuk menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi anak Papua. Dalam perjalanan, AL kemudian diserahkan kepada Yesuit untuk dikelola. Sampai saat ini, AL dikelola Yesuit. Dan mereka telah berkomitmen untuk mendidik anak-anak asli Papua menjadi garam dan terang bagi bangsa Papuanya, dengan menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas.” 

Pertanyaan yang tersisa dan yang memakan waktu kami malam ini hanya satu: Berapa persen anak asli Papua yang diterima di Adhi Luhur setiap tahun, bila memang Adhi Luhur hadir untuk mendidik anak Papua?

Pertanyaan ini menjadi berat untuk dijawab. Angkatanku, anak Papua mendominasi, tapi berimbang sebenarnya. Anak asli Papua berkisar 60-an % dibanding teman teman yang  bukan asli Papua.

Sebenarnya, pembahasan kami tidak bermaksud memunculkan pendapat yang berbau  diskriminatif. Agus sudah menggariskannya sebelum kami bicara.
“Ini bukan supaya kita jadi diskriminatif, dan pertentangan dengan teman-teman yang asli Toraja, Batak, Jawa, bahkan dengan mereka yang lahir dan atau besar di Papua. Tetapi karena Adhi Luhur ada untuk mendidik anak asli Papua dan ada di Papua, maka yang kita bicara, adalah berapa persen anak asli Papua yang  dididik di AL,” kata Agus.
Kemudian, saya amati, tahun pertama, angkatan kami berjumlah 118 orang. Kami yang lulus hanya 64 orang. Dan dari 64 orang itu, kami anak asli Papua jadi lebih sedikit dibanding pendatang. Saya tidak tahu angkatan selanjutnya.

Frans berkisah, dalam penerimaan tahun ini, banyak orang tua yang mengeluh dengan biaya pendidikan. Kemudian, yang diterima juga kebanyakan dari SMP Antonius, dari SMP YPPK Moanemani, kemudian dari sekolah-sekolah seputar Nabire. Anak yang diterima pun dibuat tes. Dan mereka yang mampu sajalah yang masuk. Yang tidak mampu, yang notabene adalah anak asli Papua dari pesisir dan pegunungan (pedalaman) Papua jadi tersingkir dalam tahap seleksi.

Sudah begitu, mereka terkendala satu hal, Komunikasi. Anak asli Papua, apa lagi dari pedalaman, banyak mengalami kendala ini. Kosakata bahasa Indonesia mereka minim. Ini juga karena bobroknya kualitas pendidikan di pedalaman. Mereka di Adhi Luhur menjadi tersingkir.
Guru-guru baru di Adhi Luhur mengajar, dan mungkin kurang peduli dengan mereka. Tak ada guru-guru berpengalaman dan yang mengerti dengan kondisi anak asli Papua, misal pak Lantang, untuk membantu mereka. Juga, Mikael berkisah, beberapa guru asli Papua dari pedalaman di Adhi Luhur sudah tidak lagi mengajar. Pak Longgi juga katanya kurang aktif  mengajar mereka lagi, karena beberapa kendala. Anak-anak asli Papua dari pedalaman dan  pesisir jadi tak punya tempat bersandar. Tak ada yang bisa memotivasi mereka.

Saya jadi berpikir, akan dengan mudahnya anak anak pendatang dari sekitar Nabire memahami materi pelajaran. Sementara anak asli Papua dengan keterbatasan mereka akan berusaha mengejar. Tetapi bisa jadi  kendala komunikasi dan tidak ada perhatian ‘lebih’ dari sekolah menjadi batu besar yang membuat anak asli Papua tersandung dan jatuh.

Jhon Roni juga berkisah, bagaimana dalam setiap kegiatan di Adhi Luhur, semua didominasi anak-anak yang bukan asli Papua.

“Mereka dominasi  untuk menjadi pengurus dalam semua kegiatan. Bahkan dalam presidium, hal itu nyata. Anak-anak asli Papua hanya menjadi anggota dari koordinator Perlengkapan. Itu harga mati. Kami selalu jadi anggota perlengkapan, yang notabene kerja dengan fisik. Sementara bagian perencanaan  diduduki  oleh yang bukan asli.”
“Saya merasakan menjadi betul manusia dan dihargai saat pastor Odemus Bei Witono jadi moderator Adhi Luhur. Dia itu pater luarbiasa,” katanya berkisah.

Menurutnya, dengan pendekatan dan kepercayaan diri, juga kesempatan yang dibuka pastor Bei Witono dalam beberapa kegiatan, dirinya bisa terlibat dalam beberapa kegiatan sebagai pengurus. 

“Tetapi sejak  romo Bei pindah ke Civita Youth Camp, saya tidak dipakai lagi. Perlengkapan, itu sudah bagian kami anak asli Papua di Adhi Luhur dalam setiap kegiatan, sejak pater Bei pindah,” kata Roni malam itu, ketika saya menjenguknya di kamarnya.

Mikael juga berkisah, bagaimana Kedisiplinan jadi tidak ditegakkan, bersamaan dengan pekergian pater Bei Witono, juga dengan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan. “Ekstrakulikuler juga tidak berjalan semua, hanya yang berjalan itu Jurnalistik.”

“Ketika Olimpiade, guru dan pastor langsung tunjuk. Tidak ada ekstra untuk Olimpiade. Sekarang main tunjuk. Jadi, ya, jelasnya, yang ditunjuk adalah mereka yang mampu. Tidak ada proses belajar dan persiapan seperti yang kaka Agus cerita tadi itu,” kata Moses. Padahal, kata dia menambahi, anak asli Papua kadang belajar banyak hal ketika masuk ekstra Olimpiade di setiap bidang di diolimpiadekan.
 ** 

Sudah jam 2 Subuh. Saya mengantuk, dan pamit untuk istirahat. Mereka masih lanjut bercerita. Yang saya tangkap, juga yang saya ingin, Ada orang seperti pastor Mardi di Adhi Luhur saat ini yang  berani mengatakan, “Biaya bukan halangan bagi anak asli Papua mendapat pendidikan yang layak di Adhi Luhur”. Ada orang seperti pater Tito yang dapat mengenalkan anak-anak Papua dengan tekhnologi sehingga kami merasa menjadi warga dunia modern ini.

Mesti juga ada orang seperti pater Bei Witono yang mengontrol dan mendekati setiap kami, siswanya secara personal, dan universal,  sehingga yang kecewa dihibur, yang ragu-ragu diteguhkan, yang baik dimotivasi agar menjadi lebih baik, dan menjadi yang terbaik.

Mesti ada guru sekaligus Bapa seperti pak Jhon Angkasa. Juga seperti pak Lantang, bu Yuni, pak Lamba Toding,  dan Kris Laheba, agar mendampingi pak Yuventus, Wakasek Kurikulum, yang kewalahan (sendirian?) mengurus sekolah dan kurikulum agar sedikit memihak kepada anak asli Papua. (terima kasih pak Juve).

Juga ada program tambahan seperti zamanku, khusus untuk anak-anak yang kurang mampu, untuk 3 mata pelajaran pokok, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, agar anak-anak pedalaman dan pesisir yang  asli Papua dapat terbantu menyesuaikan tingkatan pendidikannya dengan mereka yang dari kota. Ini penting agar tidak minder.

Juga  mereka berharap agar Pak Yermias Degey tetap mengajar di Adhi Luhur, mengajari anak-anak bagaimana menulis; Berharap agar pak Longginus Pekey tetap di Adhi Luhur, mendamingi mereka, seperti yang sementara ini saya dengar di buat (pak Longgi, ko memang seperti Tuhan Yesus, menyerahkan hidup untuk sesama).

Mereka juga  berharap agar anak asli Papua diterima dengan minimal, presentasenya 70% dari total penerimaan siswa baru di Adhi Luhur, karena memang Adhi Luhur ada untuk mendidik dan memanusiakan, mencerdaskan anak asli Papua. 

Juga agar dalam penerimaan, Adhi Luhur tetap menerima anak pedalaman dan pesisir, yang dalam tes masuk, mungkin kurang baik dan kurang memuaskan, agar dididik menjadi bisa di AL. AL diharapkan menjadi tempat dimana anak-anak masuk ‘kurang bisa’. Dididik, diproses. Akhirnya, keluar dengan kaki kokoh, kepala tegak karena telah ‘bisa.’

Kami anak asli Papua ingin Adhi Luhur yang hadir untuk kami betul mendidik kami, memperhatikan kami ‘lebih’ agar kami menjadi nyala-nyala lilin yang menyala, menerangi, memerangi kegelapan di atas tanah kami.

Kami tetap berterimakasih kepada Yesuit, semua pengelola Adhi Luhur atas jasa-jasa anda. Ugatame yang akan balas semua jasa anda. Semoga catatan di atas menjadi koreksi dan masukan dari kami, demi  AMDG!.


Topilus B. Tebai, kuliah di Yogyakarta. Alumnus SMA Adhi Luhur tahun 2009-2012.


No comments:

Post a Comment