Pages

Monday, October 28, 2013

Cerita Lepas Alumni AL di Malam Kamis

Topilus Bastian Tebay. Foto; Dok Pribadi
Oleh Topilus B. Tebai *)


MALAM KAMIS (8/7/2013), asrama mahasiswa kabupaten Dogiyai  diselimuti gelap malam. Penghayatan akan hari Fitri  semakin menjadikan malam ini tenang. Saya duduk di atas  sebuah batu. Beberapa sahabatku juga duduk. Kami duduk melingkar, melingkari sebuah termos berisi kopi susu yang kami buat, sebagai teman cerita kami malam ini. 

Bicara kami tidak serius. Berawal dari (Mestinya kaka Agus. Saya tulis Agus, agar tidak ada kelas terlihat dalam coretan ini) Agus yang menceritakan  bagaimana Asrama Putera ketika zamannya, dan bagaimana wajah SMA YPPK Adhi Luhur, percakapan meluas.

 “Kami waktu itu, pas POSAL, kami satu bulan. Kami benar-benar dididik,” begitu kata Agus mengawali. Saya duduk diam, menyimak. Agus bercerita panjang dan lebar seputar penyelenggaraan POSAL, dan bagaimana prosesnya sampai dia menjadi panitia POSAL pada tahun berikutnya.

Kemudian, cerita berlanjut pada kesan Agus kepada pak Jhon. Lengkapnya, yang saya dengar dari mulut Agus, Jhon Kurniawan Angkasa. 

“Pak Jhon cinta kami anak Papua. Dia didik kami dengan hati. Satu juga itu, pak Leo Lantang. Dia benar-benar ayah kami sebelum pak Yermias Degei datang, pak Longginus Pekey datang, pak Melkias Tekege datang.” 

Cerita kemudian berlanjut pada kesan-kesan pribadi Agus ketika berproses di Adhi Luhur dengan mereka. 

Ketika Mikael bicara, cerita berpindah kepada Pak Lamba Toding, caranya mengajar, dan disiplinnya dalam mengajar. Kemudian  kepada pastor Mardi Santosa, ayah dari anak pedalaman di Nabire. Saya ingat apa kata pater Mardi dari lapangan basket, ketika uparaca bendera Indonesia.

“Untuk anak asli Papua, jangan jadikan  biaya sebagai alasan anda untuk tidak mendapat layanan pendidikan yang baik di Adhi Luhur. Kalau memang anda tidak punya famili yang membiayai anda, tapi anda punya semangat belajar, saya akan bebaskan anda dari biaya-biaya di Adhi Luhur. Asal kau belajar serius.”

Kata-katanya itu bukan hanya di bibir. Saya ingat bagaimana beberapa teman saya, Daniel Wakey, Gergorius Iyai, dan Sabina Dogomo,  melalui sentuhannya,  bahkan sampai bisa masuk ke Surya Research Internasional. Pastor Mardi juga selalu memberi beberapa buku rangkuman materi kepada beberapa anak yang dianggap berpotensi, juga kepada mereka yang punya semangat. Hery Tebay,   Kris Tebay, Saya, Daniel Wakey, Agustian Tatogo (belajar Matematika, sekarang kuliah jurusan Matematika, dan tutor Matematika buat teman-teman dan adik adik Papuanya), kami adalah beberapa diantaranya yang  pernah mendapat buku. Gratis!.

Justru dari sini, cerita kami berkembang, dengan membandingkan apa yang terjadi saat ini. Frans, Mikael, Moses, juga Paul, mereka cerita banyak tentang perkembangan AL terkini.

Dari cerita mereka, saya memahami beberapa hal. Dengan cerita mereka bagaimana Rekoleksi 2 Angkatan yang dahulu sampai 2 malam di sekolah,  untuk tahun ini bahkan hanya satu hari. Dari satu hari itu, hanya satu jam materi, kemudian masuk jam bebas, main Basket, Volly, Futsal, sampai sore dan pulang. 

Kemudian, bagaimana anak-anak asli Papua mulai merasa asing, merasa tidak diperhatikan lagi, karena guru-guru saat ini mungkin kurang menjiwai semangat sebagai seorang Guru, sekaligus Bapa, sama seperti pak Jhon Kurniawan Angkasa, pak Leo Lantang, dalam cerita Agus.  Dari cerita mereka, raut wajah mereka, jelas ada kerutan kekecewaan di dahi.

Kemudian cerita berlanjut pada bagaimana  anak-anak ini mendengar dari beberapa teman mereka, bagaimana  mereka sering jadi bahan bicara dan tertawaan  di meja makan, justru dari Pembina, dan Pemimpin sekolah dan asrama, yang menjadi panutan  mereka. Disana, warna kecewa jelas-jelas saya tangkap.

“Kaka, yang dulu ada kelas sore khusus untuk anak asli Papua dan yang lain, khusus bagi mereka yang kurang mampu dalam memahami 3 mata pelajaran utama; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika, sekarang  ditiadakan. Tidak pernah diadakan,” kata Frans. 

“Juga, tidak seperti Pastor Mardi, atau Kristian Laheba, atau Jhon Kurniawan, atau Leo Lantang, bagi yang tidak mengerti, mereka tidak membuka ruang untuk siswa pergi bertanya di Wisma, Pastoran, dan rumah mereka,” katanya lagi. 

Saya kemudian bertanya, bagaimana dengan kabar guru-guru di sana. Saya bermaksud ingin mencairkan suasana pembicaraan kami yang menjurus serius.

“Beberapa guru baru masuk. Tapi mereka tidak seperti guru lama.” Kemudian Mikael tambah lagi bicara,” Biaya masuk Adhi Luhur juga semakin mahal.”

Mengenai biaya sekolah di SMA Adhi Luhur, kata mereka, sekarang, minimal bayar 200.000,00. Kemudian, bagaimana dengan yang orang tuanya petani, dan memunyai anak 6, semua sekolah? Haruskan mereka hanya dibiarkan bermimpi belajar di kampus AL?  Ketika mereka menyinggung pastor Mardi, saya ingat kata katanya, “Tidak ada uang untuk biaya sekolah tidak menjadi alasan bagi anak asli Papua sekolah di Adhi Luhur.” Pastor Mardi, dia sekarang tidak lagi di Adhi Luhur. Anak asli Papua rindu dia. Itu jelas dari cara mereka bicara.

Kopi susu masih tersedia lebih dari 5 liter, sementara jarum jam masih menunjuk angka 12.00. Malam itu, hanya bintang bertaburan. Asrama hening. Kami masih lanjut bicara. Semua alumni SMA Adhi Luhur.

Agus kemudian bicara. “Adhi Luhur hadir untuk menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi anak Papua. Dalam perjalanan, AL kemudian diserahkan kepada Yesuit untuk dikelola. Sampai saat ini, AL dikelola Yesuit. Dan mereka telah berkomitmen untuk mendidik anak-anak asli Papua menjadi garam dan terang bagi bangsa Papuanya, dengan menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas.” 

Pertanyaan yang tersisa dan yang memakan waktu kami malam ini hanya satu: Berapa persen anak asli Papua yang diterima di Adhi Luhur setiap tahun, bila memang Adhi Luhur hadir untuk mendidik anak Papua?

Pertanyaan ini menjadi berat untuk dijawab. Angkatanku, anak Papua mendominasi, tapi berimbang sebenarnya. Anak asli Papua berkisar 60-an % dibanding teman teman yang  bukan asli Papua.

Sebenarnya, pembahasan kami tidak bermaksud memunculkan pendapat yang berbau  diskriminatif. Agus sudah menggariskannya sebelum kami bicara.
“Ini bukan supaya kita jadi diskriminatif, dan pertentangan dengan teman-teman yang asli Toraja, Batak, Jawa, bahkan dengan mereka yang lahir dan atau besar di Papua. Tetapi karena Adhi Luhur ada untuk mendidik anak asli Papua dan ada di Papua, maka yang kita bicara, adalah berapa persen anak asli Papua yang  dididik di AL,” kata Agus.
Kemudian, saya amati, tahun pertama, angkatan kami berjumlah 118 orang. Kami yang lulus hanya 64 orang. Dan dari 64 orang itu, kami anak asli Papua jadi lebih sedikit dibanding pendatang. Saya tidak tahu angkatan selanjutnya.

Frans berkisah, dalam penerimaan tahun ini, banyak orang tua yang mengeluh dengan biaya pendidikan. Kemudian, yang diterima juga kebanyakan dari SMP Antonius, dari SMP YPPK Moanemani, kemudian dari sekolah-sekolah seputar Nabire. Anak yang diterima pun dibuat tes. Dan mereka yang mampu sajalah yang masuk. Yang tidak mampu, yang notabene adalah anak asli Papua dari pesisir dan pegunungan (pedalaman) Papua jadi tersingkir dalam tahap seleksi.

Sudah begitu, mereka terkendala satu hal, Komunikasi. Anak asli Papua, apa lagi dari pedalaman, banyak mengalami kendala ini. Kosakata bahasa Indonesia mereka minim. Ini juga karena bobroknya kualitas pendidikan di pedalaman. Mereka di Adhi Luhur menjadi tersingkir.
Guru-guru baru di Adhi Luhur mengajar, dan mungkin kurang peduli dengan mereka. Tak ada guru-guru berpengalaman dan yang mengerti dengan kondisi anak asli Papua, misal pak Lantang, untuk membantu mereka. Juga, Mikael berkisah, beberapa guru asli Papua dari pedalaman di Adhi Luhur sudah tidak lagi mengajar. Pak Longgi juga katanya kurang aktif  mengajar mereka lagi, karena beberapa kendala. Anak-anak asli Papua dari pedalaman dan  pesisir jadi tak punya tempat bersandar. Tak ada yang bisa memotivasi mereka.

Saya jadi berpikir, akan dengan mudahnya anak anak pendatang dari sekitar Nabire memahami materi pelajaran. Sementara anak asli Papua dengan keterbatasan mereka akan berusaha mengejar. Tetapi bisa jadi  kendala komunikasi dan tidak ada perhatian ‘lebih’ dari sekolah menjadi batu besar yang membuat anak asli Papua tersandung dan jatuh.

Jhon Roni juga berkisah, bagaimana dalam setiap kegiatan di Adhi Luhur, semua didominasi anak-anak yang bukan asli Papua.

“Mereka dominasi  untuk menjadi pengurus dalam semua kegiatan. Bahkan dalam presidium, hal itu nyata. Anak-anak asli Papua hanya menjadi anggota dari koordinator Perlengkapan. Itu harga mati. Kami selalu jadi anggota perlengkapan, yang notabene kerja dengan fisik. Sementara bagian perencanaan  diduduki  oleh yang bukan asli.”
“Saya merasakan menjadi betul manusia dan dihargai saat pastor Odemus Bei Witono jadi moderator Adhi Luhur. Dia itu pater luarbiasa,” katanya berkisah.

Menurutnya, dengan pendekatan dan kepercayaan diri, juga kesempatan yang dibuka pastor Bei Witono dalam beberapa kegiatan, dirinya bisa terlibat dalam beberapa kegiatan sebagai pengurus. 

“Tetapi sejak  romo Bei pindah ke Civita Youth Camp, saya tidak dipakai lagi. Perlengkapan, itu sudah bagian kami anak asli Papua di Adhi Luhur dalam setiap kegiatan, sejak pater Bei pindah,” kata Roni malam itu, ketika saya menjenguknya di kamarnya.

Mikael juga berkisah, bagaimana Kedisiplinan jadi tidak ditegakkan, bersamaan dengan pekergian pater Bei Witono, juga dengan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan. “Ekstrakulikuler juga tidak berjalan semua, hanya yang berjalan itu Jurnalistik.”

“Ketika Olimpiade, guru dan pastor langsung tunjuk. Tidak ada ekstra untuk Olimpiade. Sekarang main tunjuk. Jadi, ya, jelasnya, yang ditunjuk adalah mereka yang mampu. Tidak ada proses belajar dan persiapan seperti yang kaka Agus cerita tadi itu,” kata Moses. Padahal, kata dia menambahi, anak asli Papua kadang belajar banyak hal ketika masuk ekstra Olimpiade di setiap bidang di diolimpiadekan.
 ** 

Sudah jam 2 Subuh. Saya mengantuk, dan pamit untuk istirahat. Mereka masih lanjut bercerita. Yang saya tangkap, juga yang saya ingin, Ada orang seperti pastor Mardi di Adhi Luhur saat ini yang  berani mengatakan, “Biaya bukan halangan bagi anak asli Papua mendapat pendidikan yang layak di Adhi Luhur”. Ada orang seperti pater Tito yang dapat mengenalkan anak-anak Papua dengan tekhnologi sehingga kami merasa menjadi warga dunia modern ini.

Mesti juga ada orang seperti pater Bei Witono yang mengontrol dan mendekati setiap kami, siswanya secara personal, dan universal,  sehingga yang kecewa dihibur, yang ragu-ragu diteguhkan, yang baik dimotivasi agar menjadi lebih baik, dan menjadi yang terbaik.

Mesti ada guru sekaligus Bapa seperti pak Jhon Angkasa. Juga seperti pak Lantang, bu Yuni, pak Lamba Toding,  dan Kris Laheba, agar mendampingi pak Yuventus, Wakasek Kurikulum, yang kewalahan (sendirian?) mengurus sekolah dan kurikulum agar sedikit memihak kepada anak asli Papua. (terima kasih pak Juve).

Juga ada program tambahan seperti zamanku, khusus untuk anak-anak yang kurang mampu, untuk 3 mata pelajaran pokok, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, agar anak-anak pedalaman dan pesisir yang  asli Papua dapat terbantu menyesuaikan tingkatan pendidikannya dengan mereka yang dari kota. Ini penting agar tidak minder.

Juga  mereka berharap agar Pak Yermias Degey tetap mengajar di Adhi Luhur, mengajari anak-anak bagaimana menulis; Berharap agar pak Longginus Pekey tetap di Adhi Luhur, mendamingi mereka, seperti yang sementara ini saya dengar di buat (pak Longgi, ko memang seperti Tuhan Yesus, menyerahkan hidup untuk sesama).

Mereka juga  berharap agar anak asli Papua diterima dengan minimal, presentasenya 70% dari total penerimaan siswa baru di Adhi Luhur, karena memang Adhi Luhur ada untuk mendidik dan memanusiakan, mencerdaskan anak asli Papua. 

Juga agar dalam penerimaan, Adhi Luhur tetap menerima anak pedalaman dan pesisir, yang dalam tes masuk, mungkin kurang baik dan kurang memuaskan, agar dididik menjadi bisa di AL. AL diharapkan menjadi tempat dimana anak-anak masuk ‘kurang bisa’. Dididik, diproses. Akhirnya, keluar dengan kaki kokoh, kepala tegak karena telah ‘bisa.’

Kami anak asli Papua ingin Adhi Luhur yang hadir untuk kami betul mendidik kami, memperhatikan kami ‘lebih’ agar kami menjadi nyala-nyala lilin yang menyala, menerangi, memerangi kegelapan di atas tanah kami.

Kami tetap berterimakasih kepada Yesuit, semua pengelola Adhi Luhur atas jasa-jasa anda. Ugatame yang akan balas semua jasa anda. Semoga catatan di atas menjadi koreksi dan masukan dari kami, demi  AMDG!.


Topilus B. Tebai, kuliah di Yogyakarta. Alumnus SMA Adhi Luhur tahun 2009-2012.


Wednesday, October 16, 2013

Peran Alumni Adhi Luhur Nabire di Era Otonomi Khusus di Papua

Santon Tekege; Foto : Dok Pribadi

Oleh: Santon Tekege

 “Sebuah Refleksi yang disampaikan dalam pertemuan Alumni Adhi Luhur Nabire di Kota Study Jayapura, pada  15 September 2013”

Dalam realitas memperlihatkan bahwa banyak masalah yang kita hadapi di Papua. Masalah-masalah tersebut, pemerintah tidak mampu mencari jalan keluar yang baik. Maka itu keterpurukan dan kemiskinan semakin meningkat setiap tahun di Papua. Bahkan masalah sejarah Papua sejak 1963 sampai Papua dicaploknya menjadi bagian Indonesia sejak 1969, masalah pelanggaran HAM, marginalisasi orang setempat, masalah pendidikan dan kesehatan, serta krisis budaya “Schock Cultur” pun dapat didengarkan di mana-mana di Papua. Itulah dampak yang muncul akibat adanya tidak konsisten dari pemerintah pusat dan daerah untuk kedua Propinsi Indonesia Timur “Propinsi Papua dan Papua Barat”. Dalam suasana seperti ini, di manakah peran Alumni Adhi Luhur Nabire untuk Papua?


 Keterpurukan dan Kemiskinan Orang Papua

Di sini hukum keberpihakan bagi orang Papua “orang asli Papua” sangat jelas dalam Pemberlakuan UU. No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Special Autonomy) atau “Otsus”. Tetapi Otsus selama 12 tahun ini tidak berhasil menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh orang asli Papua. Implementasi UU Otsus Papua hingga kini tidak dapat memperlihatkan keberhasilan dan kesejahteraan ekonomi bagi orang asli Papua. Dalam tahun 2003, BPS Propinsi Papua melaporkan bahwa 80% dari 2.469.785 Penduduk Papua adalah penduduk miskin secara nasional. Setelah beberapa tahun kemudian tahun 2007, BPS Propinsi Papua mengatakan bahwa 81,52%  miskin di Papua. Kini data BPS Pusat (Indonesia) 2010 menunjukkan bahwa Propinsi Papua (37,53%) dari 2.851.999 jiwa penduduk Papua dan Papua Barat (35,71%) paling tinggi tingkat kemiskinan secara nasional dari seluruh Propinsi di Indonesia. Kedua Propinsi ini paling termiskin di seluruh Indonesia. Meskipun dana trilyun rupiah dikucurkan ke Propinsi Papua dan Papua Barat, orang Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan yang kaya raya akan sumber daya alamnya. Kita tidak bisa disangkal atas realita ini. Kita tidak boleh manipulasi kenyataan hidup bagi orang Papua. Memang orang Papua mengalami keterpurukan dan kemiskinan di tanahnya sendiri. Saya sangat menarik salah satu tulisan di spanduk saat Mama-Mama Pedagang Asli Papua demo di Gubernur Papua di ruangan Sasana Krida, bunyinya:


“Ketidakseriusan Pemerintah Papua

untuk Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi Bagi Orang Asli Papua, Maka MAMA-MAMA PEDAGANG ASLI PAPUA MENDESAK SEGERA MEREALISASIKAN PEMBANGUNAN PASAR DI KOTA SENTRAL JAYAPURA, 23 April 2012”

Kita mengakui bahwa “masalah pelanggaran HAM, marginalisasi orang Papua, masalah pendidikan dan kesehatan, krisis budayanya sendiri (shock cultur), dan  kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam semakin meningkat di Papua”. Orang Papua dengan segala kekayaan alam yang melimpah hanya menjadi objek dasar di negerinya sendiri. Keanekaragaman hayati dan non hayati yang berada diperut bumi Papua seperti tembaga, nikel dan emas serta kayu, ikan dan minyak telah dikeruk dan diambil oleh para penguasa. Semua kekayaan alam itu diambil hanya demi kepentingan para kapital. Semua hasil kekayaan di bumi Papua dibawah keluar Papua, sementara orang setempat dari kedua Propinsi Indonesia timur tercatat urutan pertama termiskin di Indonesia.

Semua kekayaan alam hanya dimanfaatkan demi kepentingan para elit dan kapital Indonesia dan negara asing. Orang Papua hanya merasa bahwa di satu sisi sumber daya alam habis dan di bawa keluar Papua, tetapi di sisi lain peningkatan kaum transmigrasi ke Papua. Orang Papua sungguh sangat dilemantis bagaikan seekor udang kejepitan di tengah-tengah batu. Makanya itu, orang asli Papua mengalami kehilangan hak-hak dasar, krisis nilai-nilai budaya akibat pengaruh luar dan kehilangan tempat-tempat sakral di Papua. Lebih jauh, mereka hanya berada dalam substansi kemiskinan dan keterpurukkan. Lantas: Di manakah kesejahteraan bagi orang Papua?

Tidak Konsisten Pemerintah Pusat Di Papua

Pemberlakuan UU Otsus oleh pemerintah pusat bagi Papua dengan tujuan “untuk menjamin meningkatkan kesejahteraan, melindungi hak-hak dasar orang asli Papua dan memelihara nilai-nilai kultur serta melancarkan pembangunan”. Namun, Pemerintah (Pusat dan daerah) tidak melaksanakan substansi dari amanat Otsus secara konsisten dan menyeluruh. Empat pilar amanat Otsus ini hanya sebuah wacana di publik agar dipercayai oleh negara lain yang mendukung implementasi UU Otsus bagi Propinsi Papua dan Papua Barat. Ketidakseriusan Pemerintah pusat dapat diperlihatkan setelah pengesahan UU Otsus oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat dan Tengah tanpa pendekatan dengan pemerintah daerah Papua dan masyarakat asli Papua. Keputusan ini dibuat oleh Presiden yang sama tanpa menyadari melanggar UU Otsus Papua. Di zaman kepemimpinan Presiden SBY dapat meneruskan dan  memaksakan pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat (Irjabar). Karena merasa gagal implementasi UU Otsus di Papua, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY dapat menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di Propinsi Papua dan Papua Barat. Instruksi Presiden (Inpres) ini menjadi peraturan Presiden SBY No.66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatakan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Kini berita ini sangat hangat diwacanakan di publik di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya. Masyarakat Papua menolak dengan paket Pemerintah Indonesia melalui UP4B di Papua dan Papua Barat.

Kini isu mengenai “RUU Otsus Plus” ramai dibicarakan di Papua. Pemerintah Indonesia melalui Gubernur Propinsi Papua Lukas Enembe berpikir dengan adanya Otsus Plus, warga Papua akan peningkatan kesejahteraan orang Papua.  Namun setelah dibacanya RUU Otsus Plus ternyata diketahui jiplakan dari UU Otsus Pronpinsi Aceh di Papua. Bahkan isinya dari RUU sangat bertolak belakang dengan situasi masyarakat Papua. RUU Otsus Plus itu, ternyata copy paste dari propinsi lain di Papua. Ketika mendengar itu, masyarakat dan semua pihak Papua menolak RUU Otsus Plus di Papua. Dinilai mencoreng nama Indonesia dan Presiden Indonesia di Publik. Bodohlah Indonesia tapi juga bodohlah pejabat Papua yang menjiplak RUU dari Propinsi lain di Papua.


Peran Alumni Adhi Luhur Nabire di Papua

Dalam konteks di Papua bahwa orang Papua merasa tidak diperhatikan Pemerintah (pusat dan daerah) di Papua. Orang Papua merasa tidak disapa oleh Pemerintah Indonesia dan Papua. Mereka juga dapat hidup seperti yatim piatu. Mereka disingkirkan oleh sistem dan struktur Pemerintah yang mencari keuntungan dan kenikmatan semata di Papua. Pemerintah Papua tidak mampu membuat kebijakan yang jelas bagi orang Papua, “misalnya tidak adanya kebijakan khusus bagi orang asli Papua”. Orang Papua dibiarkan oleh Pemerintah Papua tanpa tempat jualan yang layak secara modern, begitu pun aspek lainnya di Papua. Pemerintah Papua tidak memberdayakan orang Papua. Walaupun mereka merasa penting pembangunan manusia melalui bidang pendidikan dan kesehatan serta diberdayakannya untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi. Namun Pemerintah Indonesia (pusat dan daerah) buta melihat walaupun tahu karena itu bagusnya diberi gelar “matanya terbuka lebar tapi tidak melihat seperti ikan cakalang di pasar Youtefa”.

Maka dari itu, Alumni Adhi Luhur Nabire dipanggil untuk membuat terobosan-terobosan baru demi pembaharuan situasi di Papua. Alumni Adhi Luhur bukan penonton tetapi mesti menjadi pemain dalam segala aspek pembangunan dengan prinsip dasarnya adalah keberpihakan pada orang Papua. Alumni Adhi Luhur juga mesti hadir sebagai sarana pembangunan di segala aspek. Bahkan mesti menjadi jembatan bagi orang Papua dalam keterpurukan dan kemiskinan yang dialaminya di Papua.

Akhirnya setiap kita mesti memperlihatkan peradaban kasih pada ciptaan di bumi ini. Karena peradaban kasih merupakan harapan setiap orang, apa pun latar belakangnya. Semua orang hendak hidup dalam kasih, damai, dan diperlakukan adil pada semua tempat dan waktu. Seruannya: wa..wa..wa..wa..wa.

Tulisan ini pernah dipublish pada www.suarapapua.com. (http://suarapapua.com/2013/10/peran-alumni-adhi-luhur-nabire-di-era-otonomi-khusus-di-papua/). 

 


Penulis adalah mahasiswa pada STFT Fajar Timur Abepura dan Alumni Adhi Luhur Nabire.