 |
Topilus Bastian Tebay. Foto; Dok Pribadi |
Oleh
Topilus B. Tebai *)
MALAM KAMIS (8/7/2013),
asrama mahasiswa kabupaten Dogiyai diselimuti gelap malam. Penghayatan
akan hari Fitri semakin menjadikan malam ini tenang. Saya duduk di
atas sebuah batu. Beberapa sahabatku juga duduk. Kami duduk melingkar,
melingkari sebuah termos berisi kopi susu yang kami buat, sebagai teman cerita
kami malam ini.
Bicara kami tidak serius.
Berawal dari (Mestinya kaka Agus. Saya tulis Agus, agar tidak ada kelas
terlihat dalam coretan ini) Agus yang menceritakan bagaimana Asrama
Putera ketika zamannya, dan bagaimana wajah SMA YPPK Adhi Luhur, percakapan
meluas.
“Kami waktu itu, pas
POSAL, kami satu bulan. Kami benar-benar dididik,” begitu kata Agus mengawali.
Saya duduk diam, menyimak. Agus bercerita panjang dan lebar seputar
penyelenggaraan POSAL, dan bagaimana prosesnya sampai dia menjadi panitia POSAL
pada tahun berikutnya.
Kemudian, cerita berlanjut
pada kesan Agus kepada pak Jhon. Lengkapnya, yang saya dengar dari mulut Agus,
Jhon Kurniawan Angkasa.
“Pak Jhon cinta kami anak
Papua. Dia didik kami dengan hati. Satu juga itu, pak Leo Lantang. Dia
benar-benar ayah kami sebelum pak Yermias Degei datang, pak Longginus Pekey
datang, pak Melkias Tekege datang.”
Cerita kemudian berlanjut
pada kesan-kesan pribadi Agus ketika berproses di Adhi Luhur dengan mereka.
Ketika Mikael bicara,
cerita berpindah kepada Pak Lamba Toding, caranya mengajar, dan disiplinnya
dalam mengajar. Kemudian kepada pastor Mardi Santosa, ayah dari anak
pedalaman di Nabire. Saya ingat apa kata pater Mardi dari lapangan basket,
ketika uparaca bendera Indonesia.
“Untuk anak asli Papua,
jangan jadikan biaya sebagai alasan anda untuk tidak mendapat layanan
pendidikan yang baik di Adhi Luhur. Kalau memang anda tidak punya famili yang
membiayai anda, tapi anda punya semangat belajar, saya akan bebaskan anda dari
biaya-biaya di Adhi Luhur. Asal kau belajar serius.”
Kata-katanya itu bukan
hanya di bibir. Saya ingat bagaimana beberapa teman saya, Daniel Wakey,
Gergorius Iyai, dan Sabina Dogomo, melalui sentuhannya, bahkan
sampai bisa masuk ke Surya Research Internasional. Pastor Mardi juga selalu
memberi beberapa buku rangkuman materi kepada beberapa anak yang dianggap
berpotensi, juga kepada mereka yang punya semangat. Hery Tebay,
Kris Tebay, Saya, Daniel Wakey, Agustian Tatogo (belajar Matematika,
sekarang kuliah jurusan Matematika, dan tutor Matematika buat teman-teman dan
adik adik Papuanya), kami adalah beberapa diantaranya yang pernah
mendapat buku. Gratis!.
Justru dari sini, cerita
kami berkembang, dengan membandingkan apa yang terjadi saat ini. Frans, Mikael,
Moses, juga Paul, mereka cerita banyak tentang perkembangan AL terkini.
Dari cerita mereka, saya
memahami beberapa hal. Dengan cerita mereka bagaimana Rekoleksi 2 Angkatan yang
dahulu sampai 2 malam di sekolah, untuk tahun ini bahkan hanya satu hari.
Dari satu hari itu, hanya satu jam materi, kemudian masuk jam bebas, main
Basket, Volly, Futsal, sampai sore dan pulang.
Kemudian, bagaimana
anak-anak asli Papua mulai merasa asing, merasa tidak diperhatikan lagi, karena
guru-guru saat ini mungkin kurang menjiwai semangat sebagai seorang Guru,
sekaligus Bapa, sama seperti pak Jhon Kurniawan Angkasa, pak Leo Lantang, dalam
cerita Agus. Dari cerita mereka, raut wajah mereka, jelas ada kerutan
kekecewaan di dahi.
Kemudian cerita berlanjut
pada bagaimana anak-anak ini mendengar dari beberapa teman mereka,
bagaimana mereka sering jadi bahan bicara dan tertawaan di meja
makan, justru dari Pembina, dan Pemimpin sekolah dan asrama, yang menjadi
panutan mereka. Disana, warna kecewa jelas-jelas saya tangkap.
“Kaka, yang dulu ada kelas
sore khusus untuk anak asli Papua dan yang lain, khusus bagi mereka yang kurang
mampu dalam memahami 3 mata pelajaran utama; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
dan Matematika, sekarang ditiadakan. Tidak pernah diadakan,” kata Frans.
“Juga, tidak seperti
Pastor Mardi, atau Kristian Laheba, atau Jhon Kurniawan, atau Leo Lantang, bagi
yang tidak mengerti, mereka tidak membuka ruang untuk siswa pergi bertanya di
Wisma, Pastoran, dan rumah mereka,” katanya lagi.
Saya kemudian bertanya,
bagaimana dengan kabar guru-guru di sana. Saya bermaksud ingin mencairkan
suasana pembicaraan kami yang menjurus serius.
“Beberapa guru baru masuk.
Tapi mereka tidak seperti guru lama.” Kemudian Mikael tambah lagi bicara,”
Biaya masuk Adhi Luhur juga semakin mahal.”
Mengenai biaya sekolah di
SMA Adhi Luhur, kata mereka, sekarang, minimal bayar 200.000,00. Kemudian,
bagaimana dengan yang orang tuanya petani, dan memunyai anak 6, semua sekolah?
Haruskan mereka hanya dibiarkan bermimpi belajar di kampus AL? Ketika
mereka menyinggung pastor Mardi, saya ingat kata katanya, “Tidak ada uang untuk biaya
sekolah tidak menjadi alasan bagi anak asli Papua sekolah di Adhi Luhur.”
Pastor Mardi, dia sekarang tidak lagi di Adhi Luhur. Anak asli Papua rindu dia.
Itu jelas dari cara mereka bicara.
Kopi susu masih tersedia
lebih dari 5 liter, sementara jarum jam masih menunjuk angka 12.00. Malam itu,
hanya bintang bertaburan. Asrama hening. Kami masih lanjut bicara. Semua alumni
SMA Adhi Luhur.
Agus kemudian bicara. “Adhi Luhur hadir untuk menjawab
kebutuhan akan pendidikan bagi anak Papua. Dalam perjalanan, AL kemudian
diserahkan kepada Yesuit untuk dikelola. Sampai saat ini, AL dikelola Yesuit.
Dan mereka telah berkomitmen untuk mendidik anak-anak asli Papua menjadi garam
dan terang bagi bangsa Papuanya, dengan menyediakan layanan pendidikan yang
berkualitas.”
Pertanyaan yang tersisa
dan yang memakan waktu kami malam ini hanya satu: Berapa persen anak asli Papua
yang diterima di Adhi Luhur setiap tahun, bila memang Adhi Luhur hadir untuk
mendidik anak Papua?
Pertanyaan ini menjadi
berat untuk dijawab. Angkatanku, anak Papua mendominasi, tapi berimbang
sebenarnya. Anak asli Papua berkisar 60-an % dibanding teman teman yang
bukan asli Papua.
Sebenarnya, pembahasan
kami tidak bermaksud memunculkan pendapat yang berbau diskriminatif. Agus
sudah menggariskannya sebelum kami bicara.
“Ini bukan supaya kita
jadi diskriminatif, dan pertentangan dengan teman-teman yang asli Toraja,
Batak, Jawa, bahkan dengan mereka yang lahir dan atau besar di Papua. Tetapi
karena Adhi Luhur ada untuk mendidik anak asli Papua dan ada di Papua, maka
yang kita bicara, adalah berapa persen anak asli Papua yang dididik di
AL,” kata Agus.
Kemudian, saya amati,
tahun pertama, angkatan kami berjumlah 118 orang. Kami yang lulus hanya 64
orang. Dan dari 64 orang itu, kami anak asli Papua jadi lebih sedikit dibanding
pendatang. Saya tidak tahu angkatan selanjutnya.
Frans berkisah, dalam
penerimaan tahun ini, banyak orang tua yang mengeluh dengan biaya pendidikan.
Kemudian, yang diterima juga kebanyakan dari SMP Antonius, dari SMP YPPK
Moanemani, kemudian dari sekolah-sekolah seputar Nabire. Anak yang diterima pun
dibuat tes. Dan mereka yang mampu sajalah yang masuk. Yang tidak mampu, yang
notabene adalah anak asli Papua dari pesisir dan pegunungan (pedalaman) Papua
jadi tersingkir dalam tahap seleksi.
Sudah begitu, mereka
terkendala satu hal, Komunikasi. Anak asli Papua, apa lagi dari pedalaman,
banyak mengalami kendala ini. Kosakata bahasa Indonesia mereka minim. Ini juga
karena bobroknya kualitas pendidikan di pedalaman. Mereka di Adhi Luhur menjadi
tersingkir.
Guru-guru baru di Adhi
Luhur mengajar, dan mungkin kurang peduli dengan mereka. Tak ada guru-guru
berpengalaman dan yang mengerti dengan kondisi anak asli Papua, misal pak
Lantang, untuk membantu mereka. Juga, Mikael berkisah, beberapa guru asli Papua
dari pedalaman di Adhi Luhur sudah tidak lagi mengajar. Pak Longgi juga katanya
kurang aktif mengajar mereka lagi, karena beberapa kendala. Anak-anak
asli Papua dari pedalaman dan pesisir jadi tak punya tempat bersandar.
Tak ada yang bisa memotivasi mereka.
Saya jadi berpikir, akan
dengan mudahnya anak anak pendatang dari sekitar Nabire memahami materi
pelajaran. Sementara anak asli Papua dengan keterbatasan mereka akan berusaha
mengejar. Tetapi bisa jadi kendala komunikasi dan tidak ada perhatian
‘lebih’ dari sekolah menjadi batu besar yang membuat anak asli Papua tersandung
dan jatuh.
Jhon Roni juga berkisah,
bagaimana dalam setiap kegiatan di Adhi Luhur, semua didominasi anak-anak yang
bukan asli Papua.
“Mereka dominasi
untuk menjadi pengurus dalam semua kegiatan. Bahkan dalam presidium, hal itu
nyata. Anak-anak asli Papua hanya menjadi anggota dari koordinator
Perlengkapan. Itu harga mati. Kami selalu jadi anggota perlengkapan, yang
notabene kerja dengan fisik. Sementara bagian perencanaan diduduki
oleh yang bukan asli.”
“Saya merasakan menjadi
betul manusia dan dihargai saat pastor Odemus Bei Witono jadi moderator Adhi
Luhur. Dia itu pater luarbiasa,” katanya berkisah.
Menurutnya, dengan
pendekatan dan kepercayaan diri, juga kesempatan yang dibuka pastor Bei Witono
dalam beberapa kegiatan, dirinya bisa terlibat dalam beberapa kegiatan sebagai
pengurus.
“Tetapi sejak romo
Bei pindah ke Civita Youth
Camp, saya tidak dipakai lagi. Perlengkapan, itu sudah bagian kami
anak asli Papua di Adhi Luhur dalam setiap kegiatan, sejak pater Bei pindah,”
kata Roni malam itu, ketika saya menjenguknya di kamarnya.
Mikael juga berkisah,
bagaimana Kedisiplinan jadi tidak ditegakkan, bersamaan dengan pekergian pater
Bei Witono, juga dengan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan. “Ekstrakulikuler
juga tidak berjalan semua, hanya yang berjalan itu Jurnalistik.”
“Ketika Olimpiade, guru
dan pastor langsung tunjuk. Tidak ada ekstra untuk Olimpiade. Sekarang main
tunjuk. Jadi, ya, jelasnya, yang ditunjuk adalah mereka yang mampu. Tidak ada
proses belajar dan persiapan seperti yang kaka Agus cerita tadi itu,” kata
Moses. Padahal, kata dia menambahi, anak asli Papua kadang belajar banyak hal
ketika masuk ekstra Olimpiade di setiap bidang di diolimpiadekan.
**
Sudah jam 2 Subuh. Saya
mengantuk, dan pamit untuk istirahat. Mereka masih lanjut bercerita. Yang saya
tangkap, juga yang saya ingin, Ada orang seperti pastor Mardi di Adhi Luhur
saat ini yang berani mengatakan, “Biaya
bukan halangan bagi anak asli Papua mendapat pendidikan yang layak di Adhi
Luhur”. Ada orang seperti pater Tito yang dapat mengenalkan
anak-anak Papua dengan tekhnologi sehingga kami merasa menjadi warga dunia
modern ini.
Mesti juga ada orang
seperti pater Bei Witono yang mengontrol dan mendekati setiap kami, siswanya
secara personal, dan universal, sehingga yang kecewa dihibur, yang
ragu-ragu diteguhkan, yang baik dimotivasi agar menjadi lebih baik, dan menjadi
yang terbaik.
Mesti ada guru sekaligus
Bapa seperti pak Jhon Angkasa. Juga seperti pak Lantang, bu Yuni, pak Lamba
Toding, dan Kris Laheba, agar mendampingi pak Yuventus, Wakasek
Kurikulum, yang kewalahan (sendirian?) mengurus sekolah dan kurikulum agar
sedikit memihak kepada anak asli Papua. (terima kasih pak Juve).
Juga ada program tambahan
seperti zamanku, khusus untuk anak-anak yang kurang mampu, untuk 3 mata
pelajaran pokok, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, agar
anak-anak pedalaman dan pesisir yang asli Papua dapat terbantu
menyesuaikan tingkatan pendidikannya dengan mereka yang dari kota. Ini penting
agar tidak minder.
Juga mereka berharap
agar Pak Yermias Degey tetap mengajar di Adhi Luhur, mengajari anak-anak
bagaimana menulis; Berharap agar pak Longginus Pekey tetap di Adhi Luhur,
mendamingi mereka, seperti yang sementara ini saya dengar di buat (pak Longgi,
ko memang seperti Tuhan Yesus, menyerahkan hidup untuk sesama).
Mereka juga berharap
agar anak asli Papua diterima dengan minimal, presentasenya 70% dari total
penerimaan siswa baru di Adhi Luhur, karena memang Adhi Luhur ada untuk
mendidik dan memanusiakan, mencerdaskan anak asli Papua.
Juga agar dalam
penerimaan, Adhi Luhur tetap menerima anak pedalaman dan pesisir, yang dalam
tes masuk, mungkin kurang baik dan kurang memuaskan, agar dididik menjadi bisa
di AL. AL diharapkan menjadi tempat dimana anak-anak masuk ‘kurang bisa’. Dididik,
diproses. Akhirnya, keluar dengan kaki kokoh, kepala tegak karena telah ‘bisa.’
Kami anak asli Papua ingin
Adhi Luhur yang hadir untuk kami betul mendidik kami, memperhatikan kami
‘lebih’ agar kami menjadi nyala-nyala lilin yang menyala, menerangi, memerangi
kegelapan di atas tanah kami.
Kami tetap berterimakasih
kepada Yesuit, semua pengelola Adhi Luhur atas jasa-jasa anda. Ugatame yang
akan balas semua jasa anda. Semoga catatan di atas menjadi koreksi dan masukan
dari kami, demi AMDG!.
Topilus B. Tebai, kuliah di Yogyakarta. Alumnus
SMA Adhi Luhur tahun 2009-2012.